Guru Dua Tolok dan Oa Ter Oleh:Saba Paul Lembata, RN Lembata RN.Ama Guru Dua Tolok dan Oa Tere'Guru gali guru gali suka kawen ...
Oleh:Saba Paul
Lembata, RN
Lembata RN.Ama Guru Dua Tolok dan Oa Tere'Guru gali guru gali suka kawen guru gali, guru ata gaji belen'. Inilah bait lagu dari syair yang biasa dilantunkan dalam irama dolo-dolo. Waktu itu guru adalah salah satu profesi panggilan yang menjadi idola dalam masyarakat. 'Gaji yang besar' bukanlah pengertian sempit akan hak-hak yang diterima setiap bulan tetapi sosok guru yang sarat akan ilmu pengetahuan umum dan agama, gaya kehidupan yang lebih maju: berpakian, pola hidup yang lebih baik. Guru zaman doeloe dibekali berbagai pengetahuan untuk hidup bermasyarakat. Karenanya banyak orang memotivasi anaknya agar bersekolah mengacu pada guru. Sekolah supaya jangan ditipu, sekolah supaya bisa nasi beras, bersekolah supaya bisa naik sepeda, sekolah supaya pakian yang diseterika.
Di kalangan masyarakat Tolok Ile sebutan untuk guru digandengkan dengan juga dengan isteri guru, 'Ama Guru dan Ina Oa'. Oa merupakan merupakan sebutan dialek Melayu Pasar (lingua frangka) Larantuka. Sebutan ini semakin memasyarakat karewa generasi pertama guru berasal dari Larantuka yang para isterinya disapa 'Ina Oa'. Sebut saja Guru Fani, Lawe Betan, Guru Gelalang, etc. Selain itu gadis yang bertunangan dengan guru pun dikursuskan di Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Balela (kini SMP Mater Inviolata).
Ketika SVD mengambil alih tanah Misi Larantuka dari Misionaris Yesuit maka geliat SVD tidak hanya berkaitan dengan evangelisasi tetapi juga memperhatikan aspek pendidikan dan kesehatan. Melalui Yayasan Vedapura (kini Yapersuktim) di Kawasan semenanjung Tuak Wutun tepatnya di Lewobelen (kini Desa Dulitukan) dibuka Sekolah Rakyat Katolik Tobi Wutun (SRK) tiga tahun. Setelah tamat di sini Anak-anak melanjudkan kelas 4, 5 dan Anak di SRK Lewotolok (Kini SDK Lewotolok I).
Keberadaan para guru di SRK Tobiwutung sangat menyatu dalam seluruh peri kehidupan masyarakat. Sebut saja Guru Fanni (1950-an), Guru Ribu (1950-an)(Yoseph Laga Ribu Tapoona) Guru Dua Tolok (Thomas, 1950-an) dan Guru Stanis Deri Burin (1960-an). Kecuali guru Laga Ribu yang berasal dari Lamalera yang lainnya berasal dari kampung yang sejuk, subur, limpah air. Di antara keempatnya saya sempat bertemu dengan Guru Stanis Deri. Guru berkisah kisah emasnya di sana, ia masih fasih berbahasa daerah dialek Lewulun dan menyebut satu per satu para sahabatnya, moting tempat minum tuak.
Mereka 'at home' di kawasan tandus, kering susah air. Mengapa mereka begitu betah? Pertama mereka begitu setia menghayati guru sebagai panggilan hidup, kedua adalah sikap akomodatif para kepala kampung dan tomas tempo itu. Sebut saja Gesi Beda, Pledur, I, Iyo, Soge Balawala dan lainya. Mereka sungguh terlibat dan menjadi orang Lewulun bukan di sekitar rumah masyarakat tetapi juga kebun, pondok tempat minum tuak, makan ikan bakar seperti Bedayang, Koli Ehak, Lekang Onen, Wakat Uaken, Luba Hering, Parek Wutun, Nereng, Ebaken, Wai Tuwa, Wokal Alen dan Wai Au. Hingga kini orang Lewulun masih erat mereka dengan segala kisah-kisah emasnya. Mereka pun mengenang Guru Fanni sebagai pelatih 'Kataong', Guru Stanis sebagai pelatih kantar 'Tite Persaja'.
Hidup bermasyarakat Ama Guru dan ina Oa menjadi salah satu media untuk memotivasi masyarakat untuk maju: anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama akan pendidikan. Motivasi ini pertama-tama di-sharing-kan dengan Kepala Desa dan tomas. Sehingga lambat laun menjadi suara dan visi bersama di tengah serba kurang. Manusia hidup dan berkembang bukan karena lingkungan yang subur tetapi budaya. Persamaan akan hak pendidikan menjadi visi bersama para Kepala Lewobelen hingga Dulitukan.
Visi bersama itu terwujud untuk menyekolahkan anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Pertengahan tahun 1950-an seorang anak laki-laki disekolahkan di Seminari Hokeng yang kemudian menjadi Imam perdana Paroki Gunung Api yakni P. Gabriel Goran SVD. Demikian juga dua orang anak bersekolah Sekolah Guru Bawa (SGB) Larantuka yang kemudian menjadi generasi kedua di Tolok Ile Alen Gole. Mereka itu adalah Guru Donatus Lau Balawala dan Guru Laot Balawala. Kesempatan yang sama juga terbuka bagi anak perempuan, tahun 1958 seorang anak perempuan disekolahkan di SKP Balela Larantuka. Visi ini terus berlanjud anak laki-laki dan perempuan. Tahun 1970-an tiga orang an Theopista Perada Balawala, Yuliana Kolong Balawala dan Lena Duga Lela Ona dan.... pun menyusuli jejak sebagai guru. Sangat mungkin ketiganya menjadi tiga dari ibu-ibu guru pertama di Tolok Ile Alen Gole.
Begitulah Ama Guru dan Ina Oa menjalani panggilan hidup sebagai guru, merasul, menjadi garam dan terang, terlibat dan menjadi bahagian dalam kehidupan masyarakat.
Selamat membaca dengan Kritis: afirmatif dan konfirmatif.Protus Burin
Lembata, RN
Di kalangan masyarakat Tolok Ile sebutan untuk guru digandengkan dengan juga dengan isteri guru, 'Ama Guru dan Ina Oa'. Oa merupakan merupakan sebutan dialek Melayu Pasar (lingua frangka) Larantuka. Sebutan ini semakin memasyarakat karewa generasi pertama guru berasal dari Larantuka yang para isterinya disapa 'Ina Oa'. Sebut saja Guru Fani, Lawe Betan, Guru Gelalang, etc. Selain itu gadis yang bertunangan dengan guru pun dikursuskan di Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Balela (kini SMP Mater Inviolata).
Ketika SVD mengambil alih tanah Misi Larantuka dari Misionaris Yesuit maka geliat SVD tidak hanya berkaitan dengan evangelisasi tetapi juga memperhatikan aspek pendidikan dan kesehatan. Melalui Yayasan Vedapura (kini Yapersuktim) di Kawasan semenanjung Tuak Wutun tepatnya di Lewobelen (kini Desa Dulitukan) dibuka Sekolah Rakyat Katolik Tobi Wutun (SRK) tiga tahun. Setelah tamat di sini Anak-anak melanjudkan kelas 4, 5 dan Anak di SRK Lewotolok (Kini SDK Lewotolok I).
Keberadaan para guru di SRK Tobiwutung sangat menyatu dalam seluruh peri kehidupan masyarakat. Sebut saja Guru Fanni (1950-an), Guru Ribu (1950-an)(Yoseph Laga Ribu Tapoona) Guru Dua Tolok (Thomas, 1950-an) dan Guru Stanis Deri Burin (1960-an). Kecuali guru Laga Ribu yang berasal dari Lamalera yang lainnya berasal dari kampung yang sejuk, subur, limpah air. Di antara keempatnya saya sempat bertemu dengan Guru Stanis Deri. Guru berkisah kisah emasnya di sana, ia masih fasih berbahasa daerah dialek Lewulun dan menyebut satu per satu para sahabatnya, moting tempat minum tuak.
Mereka 'at home' di kawasan tandus, kering susah air. Mengapa mereka begitu betah? Pertama mereka begitu setia menghayati guru sebagai panggilan hidup, kedua adalah sikap akomodatif para kepala kampung dan tomas tempo itu. Sebut saja Gesi Beda, Pledur, I, Iyo, Soge Balawala dan lainya. Mereka sungguh terlibat dan menjadi orang Lewulun bukan di sekitar rumah masyarakat tetapi juga kebun, pondok tempat minum tuak, makan ikan bakar seperti Bedayang, Koli Ehak, Lekang Onen, Wakat Uaken, Luba Hering, Parek Wutun, Nereng, Ebaken, Wai Tuwa, Wokal Alen dan Wai Au. Hingga kini orang Lewulun masih erat mereka dengan segala kisah-kisah emasnya. Mereka pun mengenang Guru Fanni sebagai pelatih 'Kataong', Guru Stanis sebagai pelatih kantar 'Tite Persaja'.
Hidup bermasyarakat Ama Guru dan ina Oa menjadi salah satu media untuk memotivasi masyarakat untuk maju: anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama akan pendidikan. Motivasi ini pertama-tama di-sharing-kan dengan Kepala Desa dan tomas. Sehingga lambat laun menjadi suara dan visi bersama di tengah serba kurang. Manusia hidup dan berkembang bukan karena lingkungan yang subur tetapi budaya. Persamaan akan hak pendidikan menjadi visi bersama para Kepala Lewobelen hingga Dulitukan.
Visi bersama itu terwujud untuk menyekolahkan anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Pertengahan tahun 1950-an seorang anak laki-laki disekolahkan di Seminari Hokeng yang kemudian menjadi Imam perdana Paroki Gunung Api yakni P. Gabriel Goran SVD. Demikian juga dua orang anak bersekolah Sekolah Guru Bawa (SGB) Larantuka yang kemudian menjadi generasi kedua di Tolok Ile Alen Gole. Mereka itu adalah Guru Donatus Lau Balawala dan Guru Laot Balawala. Kesempatan yang sama juga terbuka bagi anak perempuan, tahun 1958 seorang anak perempuan disekolahkan di SKP Balela Larantuka. Visi ini terus berlanjud anak laki-laki dan perempuan. Tahun 1970-an tiga orang an Theopista Perada Balawala, Yuliana Kolong Balawala dan Lena Duga Lela Ona dan.... pun menyusuli jejak sebagai guru. Sangat mungkin ketiganya menjadi tiga dari ibu-ibu guru pertama di Tolok Ile Alen Gole.
Begitulah Ama Guru dan Ina Oa menjalani panggilan hidup sebagai guru, merasul, menjadi garam dan terang, terlibat dan menjadi bahagian dalam kehidupan masyarakat.
Selamat membaca dengan Kritis: afirmatif dan konfirmatif.Protus Burin
COMMENTS