Jateng, RN Di sudut kecil Purbalingga, Jawa Tengah, sebuah band bernama Sukatani muncul dengan sebuah lagu yang menggema lebih keras dari ...
Jateng, RN
Di sudut kecil Purbalingga, Jawa Tengah, sebuah band bernama Sukatani muncul dengan sebuah lagu yang menggema lebih keras dari yang dibayangkan banyak orang. Mereka bukan sekadar musisi yang mengejar ketenaran, melainkan anak muda yang mengangkat realitas keras kehidupan mereka. Lagu mereka, "Bayar Bayar Bayar", bukan hanya rangkaian lirik dan melodi; ia adalah potret sebuah bangsa yang terperangkap dalam lingkaran ketidakadilan, korupsi, dan budaya suap yang merasuki hampir setiap lapisan masyarakat.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya populer, seperti musik, berfungsi sebagai medium untuk mencerminkan dan mengkritik kondisi sosial dan politik yang ada. Cultural Criticism Theory menunjukkan bahwa musik sering kali berfungsi sebagai alat kritik terhadap kekuasaan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, seperti yang dicontohkan oleh Sukatani dalam lagunya ini, yang membeberkan ketimpangan yang dialami oleh masyarakat kelas bawah (Storey, 2009) .
Seperti cermin yang tak hanya memantulkan bayangan, lagu ini menggugah dan menantang kita untuk menatap diri sendiri. Ia memaksa kita untuk mempertanyakan apa yang telah kita terima, dan lebih jauh lagi, apa yang telah kita biarkan terjadi di sekitar kita. Lirik-liriknya yang penuh sindiran membuka mata terhadap kenyataan yang sering terabaikan, dan bukan hanya mengkritik para pemegang kekuasaan, tetapi juga kita yang terjebak dalam kebisuan dan apatisme. Kritik ini dapat dianalisis menggunakan Critical Social Theory, yang berfokus pada bagaimana individu dan masyarakat dapat terperangkap dalam sistem yang tidak adil, serta bagaimana mereka dapat mengubahnya dengan mengungkapkan ketidakadilan tersebut (Horkheimer & Adorno, 2002) .
Di balik musik dan liriknya, ada kebenaran yang tak bisa disembunyikan lagi. "Bayar Bayar Bayar" lebih dari sekadar kritik terhadap sistem yang korup. Ia juga menantang kita untuk melihat harga yang harus dibayar, baik oleh mereka yang terjerat dalam dunia gelap itu, maupun oleh kita sebagai masyarakat yang membiarkan sistem tersebut terus berkembang. Dan saat cermin itu memantulkan kenyataan yang tak terbantahkan, pertanyaannya bukan lagi siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban, tetapi siapa yang berani untuk berubah.
Di balik musik dan liriknya, ada kebenaran yang tak bisa disembunyikan lagi. "Bayar Bayar Bayar" lebih dari sekadar kritik terhadap sistem yang korup. Ia juga menantang kita untuk melihat harga yang harus dibayar, baik oleh mereka yang terjerat dalam dunia gelap itu, maupun oleh kita sebagai masyarakat yang membiarkan sistem tersebut terus berkembang. Dalam hal ini, Social Protest Theory menawarkan pandangan bahwa musik dan ekspresi artistik dapat berfungsi sebagai bentuk protes sosial terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, dengan tujuan untuk membawa perubahan sosial (Tilly, 2004) .
Namun, seperti kritik yang datang dari hati yang jujur, lagu ini juga memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Bukan hanya dari mereka yang merasa tersinggung, tetapi juga dari mereka yang merasa terancam posisinya. Di sinilah letak ironi: kritik dianggap ancaman, bukan kesempatan untuk introspeksi. Kritik adalah cermin yang seringkali ditolak karena memantulkan kenyataan yang pahit. Ini menunjukkan bagaimana teori Hegemony dari Antonio Gramsci dapat diterapkan, karena kritik seperti ini sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap struktur kekuasaan yang telah mapan dan berusaha dipertahankan oleh mereka yang berkuasa (Gramsci, 1971) .
Sukatani, dengan lagu mereka, menghadirkan sebuah pertanyaan besar: apakah kita siap melihat wajah kita dalam cermin yang mereka pegang, atau kita memilih untuk menghancurkannya karena takut akan kebenaran yang terpancar? Dalam masyarakat yang semakin terlarut dalam kenyamanan, "Bayar Bayar Bayar" adalah lagu yang mengajak kita untuk tidak hanya mendengar, tetapi untuk merenung, bertindak, dan tidak membiarkan kebisuan menjadi norma. Ini mencerminkan betapa pentingnya kebebasan berekspresi, seperti yang diungkapkan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty, yang menekankan hak individu untuk mengkritik tanpa rasa takut akan pembungkaman oleh kekuasaan (Mill, 1859) .
Kritik Melodius
Lagu "Bayar Bayar Bayar" bukan hanya kritik yang terdengar, tetapi juga menggema dalam setiap nadanya. Sukatani, dengan lirik sederhana namun penuh makna, berhasil menghadirkan protes tajam terhadap ketidakadilan yang sudah meresap dalam masyarakat. Mereka tidak menciptakan lagu ini hanya untuk mengkritik, melainkan untuk menggugah kesadaran kita semua. Sebuah panggilan untuk membuka mata terhadap praktik suap yang merajalela, terutama di tubuh aparat kepolisian. Hal ini bisa dilihat dalam konteks teori kritisisme sosial, yang mengkaji bagaimana ketidakadilan sosial dan struktur kekuasaan yang ada dapat menjadi tempat lahirnya kritik terhadap sistem yang sudah korup (Horkheimer & Adorno, 2002) .
Liriknya, meskipun ringkas, menggambarkan kesenjangan antara yang berkuasa dan mereka yang tak berdaya. "Bayar bayar bayar, polisi minta bayar. Bayar bayar bayar, kalau nggak mau repot." Itu bukan sekadar rangkaian kata, tetapi gambaran keras tentang sistem yang seharusnya adil, namun justru memeras mereka yang paling rentan. Lirik ini adalah suara bagi mereka yang merasa terkekang oleh ketidakadilan yang terus terjadi. Lagu ini dapat dianalisis melalui teori kritik budaya, di mana budaya populer, dalam hal ini musik, digunakan sebagai alat untuk menyuarakan kritik sosial dan memotret ketidakadilan yang tersembunyi dalam masyarakat (Storey, 2009) .
Namun, seperti kritik yang datang dari hati yang jujur, lagu ini juga memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Bukan hanya dari mereka yang merasa tersinggung, tetapi juga dari mereka yang merasa terancam posisinya. Di sinilah letak ironi: kritik dianggap ancaman, bukan kesempatan untuk introspeksi. Kritik adalah cermin yang seringkali ditolak karena memantulkan kenyataan yang pahit. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana teori hegemoni bisa menjelaskan bagaimana pihak berkuasa berusaha mempertahankan dominasi mereka dengan menekan suara-suara yang mengkritik status quo (Gramsci, 1971) .
Sukatani, dengan lagu mereka, menghadirkan sebuah pertanyaan besar: apakah kita siap melihat wajah kita dalam cermin yang mereka pegang, atau kita memilih untuk menghancurkannya karena takut akan kebenaran yang terpancar? Dalam masyarakat yang semakin terlarut dalam kenyamanan, "Bayar Bayar Bayar" adalah lagu yang mengajak kita untuk tidak hanya mendengar, tetapi untuk merenung, bertindak, dan tidak membiarkan kebisuan menjadi norma. Ini sejalan dengan gagasan teori kebebasan berekspresi, yang mengajarkan pentingnya kebebasan untuk menyuarakan pandangan dan kritik terhadap segala bentuk ketidakadilan dalam masyarakat (Mill, 1859) .
Suara yang Teredam
Beberapa hari setelah lagu itu viral, Sukatani menarik lagu "Bayar Bayar Bayar" dari platform digital dan meminta maaf kepada pihak kepolisian. Mereka menyatakan kini berada di "ruang yang lebih aman." Tetapi, pertanyaannya adalah: apakah mereka benar-benar merasa aman? Ataukah mereka justru merasa terancam? Ketidakpastian ini menggugah kita untuk bertanya lebih dalam—mengapa mereka merasa perlu menarik lagu itu? Apakah intimidasi dari pihak tertentu yang mendorong mereka untuk mengambil langkah ini? Spekulasi berkembang, dan ini mengarah pada pentingnya teori protes sosial yang mengkaji bagaimana kritik dan protes dilakukan sebagai respons terhadap ketidakadilan yang ada (Tilly, 2004) .
Spekulasi berkembang. Beberapa orang menduga bahwa tekanan dari pihak berwenang telah memaksa mereka untuk mundur. Tidak dapat dipungkiri, dalam situasi ini, suara mereka—sebagai bentuk ekspresi—telah dibungkam. Dan ketika suara dibungkam, kebenaran yang dibawanya pun ikut terpenjara. Ini mencerminkan ironi dalam masyarakat kita, di mana kebebasan berekspresi sering kali dibatasi hanya karena kritik yang disuarakan dengan lantang.
Fenomena semacam ini bukan hal baru. Sebelumnya ada kasus lukisan kontroversial Yos Suprapto yang dihapus, atau teater Payung Hitam yang dibatalkan. Dan mungkin setelah Sukatani, akan lebih banyak lagi suara-suara yang berani mengkritik, namun dibungkam. Lalu, apakah kita akan terus membungkam suara-suara ini? Ataukah kita akan belajar mendengarkan dan menilai kritik dengan kepala dingin? Dalam konteks ini, sangat relevan untuk menggunakan teori kebebasan berekspresi, yang mendalami dinamika antara hak berbicara dan pembatasan terhadapnya, khususnya dalam situasi di mana kritik terhadap kekuasaan dipandang sebagai ancaman (Mill, 1859) .
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental setiap individu. Namun, seperti setiap hak, kebebasan ini datang dengan tanggung jawab. Sukatani, melalui lagu mereka, menggunakan hak mereka untuk mengkritik—mengkritik sesuatu yang mereka anggap salah dan tidak adil. Mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri, yakni melalui musik yang mampu menyentuh banyak orang. Ini bukan sekadar keluhan atau kemarahan, tetapi sebuah cara untuk menyuarakan keresahan yang ada di masyarakat.
Lagu "Bayar Bayar Bayar" tidak menyerang kepolisian secara keseluruhan, melainkan mengkritik oknum-oknum tertentu yang melanggar etika profesi mereka. Ini sejalan dengan teori kritisisme sosial yang menekankan pentingnya mengungkapkan ketidakadilan sosial yang terpendam dan mendesak perubahan pada struktur yang ada (Horkheimer & Adorno, 2002) . Lagu ini bukan serangan personal, tetapi protes terhadap tindakan yang tidak seharusnya terjadi dalam sistem yang harusnya menjunjung tinggi keadilan. Bukankah kritik seperti ini diperlukan? Bukankah ia bagian dari upaya untuk memperbaiki sistem yang terkadang terlupakan oleh mereka yang berkuasa?
Namun, kritik semacam ini sering dianggap ancaman, bukan kesempatan untuk introspeksi dan perbaikan. Inilah yang terjadi pada Sukatani. Alih-alih melihat lagu mereka sebagai kritik konstruktif, sebagian besar pihak lebih memilih untuk melihatnya sebagai serangan terhadap institusi, dan akhirnya membungkam suara mereka.
Padahal, dengan mendengarkan kritik semacam ini, kita dapat mengevaluasi kembali bagaimana sistem ini bekerja dan apakah masih berfungsi dengan adil.
Sukatani kini berada di "ruang yang lebih aman." Tetapi, apakah mereka benar-benar merasa aman? Ataukah mereka terpaksa diam karena tekanan? Mereka telah meminta maaf dan menarik lagu tersebut, tetapi kita harus bertanya: apakah permintaan maaf ini tulus, ataukah hanya strategi untuk melindungi diri? Meskipun mereka telah berusaha melindungi diri, mereka tetap kehilangan kebebasan berbicara secara terbuka.
Namun, satu hal yang pasti: jejak Sukatani tidak dapat dihapus begitu saja. Lagu mereka mungkin sudah ditarik, tetapi pesan yang terkandung di dalamnya tetap hidup. Kritik mereka tetap menggema di benak banyak orang, mengingatkan kita bahwa ada yang salah dalam sistem ini. Meskipun suara mereka telah diredam, kebenaran yang mereka bawa tetap hadir, dan mungkin itulah yang sesungguhnya ditakuti oleh mereka yang berusaha membungkam Sukatani: bukan lagunya, tetapi kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Cermin yang Terpecah
"Bayar Bayar Bayar" lebih dari sekadar lagu. Ia adalah cermin—sebuah refleksi yang mengungkapkan ketidakadilan yang tersembunyi, dan menyodorkan kebenaran yang banyak dari kita enggan hadapi. Dalam setiap lirik yang sederhana, tersembunyi kisah dan pertanyaan tentang siapa kita sebenarnya sebagai bangsa. Seperti cermin yang memantulkan wajah kita, lagu ini mengajak kita untuk melihat lebih dalam, bukan hanya di permukaan.
Sukatani telah membayar harga itu. Mereka menarik lagu, meminta maaf, dan bersembunyi di balik "ruang yang lebih aman." Namun, pertanyaan lebih besar adalah: apakah kita siap membayar harga yang sama? Apakah kita, sebagai masyarakat, siap menghadapi kenyataan bahwa kebenaran sering datang dengan konsekuensi? Ataukah kita akan terus membungkam suara-suara yang berusaha membuka mata kita, meskipun suara itu hanya terdengar melalui sebuah nyanyian?
Waktu akan memberi jawabannya. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memilih untuk mendengarkan, untuk tidak melarikan diri dari kenyataan, dan untuk bertanggung jawab atas masa depan yang kita bangun.***
Tentang penulis:
BUNG EKO SUPRIATNO
Dosen Ilmu Pemerintahan di Fakultas Hukum dan Sosial
Universitas Mathla’ul Anwar Banten.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. International Publishers.
Link: https://www.internationalpublishers.com
2. Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press.
Link: https://www.sup.org/books/title/?id=2445
3. Mill, J. S. (1859). On Liberty. John W. Parker and Son.
Link: https://www.gutenberg.org/ebooks/34901
4. Storey, J. (2009). Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction (5th ed.). Pearson Education.
Link: https://www.pearson.com/us/higher-education/product/Storey-Cultural-Theory-and-Popular-Culture-An-Introduction-5th-Edition/9781408285212.html
5. Tilly, C. (2004). Social Movements, 1768–2004. Paradigm Publishers.
Link: https://www.routledge.com/Social-Movements-17682004/Tilly/p/book/9780367157410
COMMENTS