Palangkaraya, RN. Anggota Komisi VII DPR Ikhwan Datu Adam mendesak pemerintah pusat mengevaluasi kebijakan menaikan tarif dasar listri...
Palangkaraya, RN.
Anggota Komisi VII DPR Ikhwan Datu Adam mendesak pemerintah pusat mengevaluasi kebijakan menaikan tarif dasar listrik (TDL). Menurut dia, Komisi VII dalam waktu dekat akan memanggil kementerian terkait.
"Kita akan memanggil Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan menggelar RDP (rapat dengar pendapat)," kata politisi Partai Demokrat ini saat berada di Palangka Raya, Rabu (3/5/2017).
Ikhwan menilai, keputusan untuk menaikkan TDL terlalu cepat. Pasalnya, kenaikan sebelumnya juga tidak didasari peningkatan pelayanan yang mumpuni.
"Salah satu contoh adalah Kalteng. Di beberapa wilayah sehari bisa padam tiga sampai empat kali. Bahkan ada beberapa desa yang berlum terkover listrik," tegas Ikhwan sebelum bertolak ke Jakarta.
Terhitung mulai 1 Mei 2017, tarif dasar listrik golongan 900 VA kembali naik Rp329 per kWH. Kini, 19 juta pelanggan pengguna golongan 900 VA harus membayar Rp1.352 per kWH untuk penggunaan listrik.
Sementara itu, masyarakat yang menggunakan listrik 900 VA non subsisdi, tarifnya akan disesuaikan dengan harga keekonomian. Saat ini, TLD 900 VA nonsubsidi Rp1.467,28 per kWH. Tarif ini akan kembali naik pada bulan Juli 2017 dan disesuaikan dengan tarif golongan Ihwan juga memberikan Press Relles kepada awak media,
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula" sebuah ibarat keadaan yang sedang dialami Rakyat di Republik ini. Bagaimana mungkin disaat harga energi dunia sedang mengalami penurunan tetapi justru aneh Pemerintah menaikkan TDL di Indonesia.
Kebijakan yang tidak populis ini menurut PLN akibat PLN mengalami kerugian pada 2015 dan 2016 akibat adanya efisiensi dan substitusi dari BBM ke Batubara, gas dan energi primer lainnya. Selain itu keadaan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika juga penyebab melambungnya biaya operasional sekalipun harga energi fosil dunia mengalami penurunan signifikan. Ibarat 2 sisi mata uang, satu sisinya harga energi fosil turun, tetapi satu sisinya lagi nilai tukar rupiah juga anjlok.
Akibat kenaikan TDL ini rakyat menjerit, industri merintih, perusahaan kecil menengah sekarat karena tak mampu menahan beban kenaikan harga listrik. Sayangnya pemerintahan Jokowi tidak cerdas menyikapi keadaan ini dan seakan terburu-buru melakukan kenaikan TDL. Padahal keadaan yang sama saat ini juga dialami negara tetangga di Asean sebutlah Vietnam, Thailand dan Filipina, dalam keadaan minyak dunia turun dan kurs mereka juga sama terhadap dollar Amerika tetapi PLN di ketiga negara tersebut mengalami keuntungan yang signifikan. Berarti ada yang salah dengan PLN ini.
Seharusnya sektor listrik jangan dijadikan target fiskal akibat Tak Amnesty gagal meraup pundi-pundi karena kesalahan forcasting dan target terlalu muluk akhirnya darah rakyat yang dihisap dengan kenaikan TDL.
Seharusnya Jokowi memperbaiki kinerja PLN karena pada prakteknya ada indikasi banyaknya mafia pengadaan BBM serta ikut campurnya kekuasaan ke dalam ranah PLN dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan PLN itu sendiri. Ternyata neo liberalisme sudah masuk ke tatanan listrik nasional dan celakanya lagi PLN tidak mampu berbuat apa-apa. Akibatnya potret 2015 dan 2016 PLN merugi sampai +/- 36 triliun adalah bukti lemahnya manajemen BUMN ini. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan di negara2 di seluruh dunia, entitas bisnis energi listrik justru paling banyak meraup keuntungan dan ini yang harus menjadi benchmarking Indonesia.
Hasil audit BPK terhadap PLN terdapat 34 proyek listrik skala kecil yang nangkrak padahal dengan targetnya hanya 627 MW dan ini sangat kecil. Tetapi apapun alasannya ini adalah potret lemahnya manajemen pengawasan terhadap PLN dan anehnya proyek outstanding ini cenderung dibesar-besarkan oleh penguasa sekarang padahal yang lebih penting harus fokus implementasi proyek 35.000 MW dan bagaimana membenahi PLN agar mampu menjadi operator mega proyek ini.
Jujur saya katakan proyek 35.000 MW Indonesia apakah sekedar meniru Vietnam yang 6 tahun lebih dulu declare dengan angka 35.000 MW. Ibarat bumi dan langit di Vietnam sangat berbeda dengan Indonesia karena disana investor diberi red carpet sejak tiba di bandara serta diberi berbagai kemudahan berinvestasi di bidang kelistrikan. Indonesia berada di level 6 Elektrifikasi di Asean dan berada dibawah Vietnam. Investasi kelistrikan di Vietnam sangat berbeda. Di Indonesia investasi kelistrikan melalui IPP selalu terjebak dengan sistem birokrasi yang berbelit dan belum padunya sistem transmisi yang seharusnya terlebih dahulu dipersiapkan PLN.
Kesalahan terbesar bangsa kita terletak pada kesalahan awal yang menjadikan Indonesia dengan Java Centris sehingga elektrifikasi pun terkonsentrasi di pulau Jawa. Celakanya lagi pulau ini tidak memiliki raw material yang dibutuhkan untuk energi ini. Energi panas bumi yang seharusnya menjadi andalan baru tergarap 9%, sehingga energi fosil masih mendominasi pemenuhan pasokan untuk listrik.
Public Private Partnership seharusnya dapat berjalan mulus karena PLN terbantu pengadaan Excess Power elektrifikasi tetapi dalam prakteknya banyak kepentingan bermain sehingga raw model ini hanya bancakan para pebisnis yang dekat dengan kekuasaan semata. Disinilah oligarki bermain dengan DNA neo liberalisme hadir disisi penguasa akibatnya negara mengalami kerugian luar biasa dan kerugian itu dibebankan ke rakyat dengan seenak udelnya saja menaikkan TDL.
Jalan keluar yang harus dilakukan pemerintah adalah membersihkan PLN dari campur tangan oligarki dan Presiden berhak minta kepada KPK agar masuk dalam pencegahan. Kebijakan yang dikeluarkan dari turunan Undang-undang berbentuk PP atau Permen harus disiasati untuk menutup celah-celah dari masuknya tikus-tikus yang menggerogoti PLN. Itupun jika Jokowi berani dengan niat untuk bersih2 dan resiko bisa jadi kebijakan pencegahan ini justru berujung bumerang dari kawan politiknya.. Wallahualam.
Lakukan pembenahan manajemen dan sistem kelistrikan nasional secara komprehensif. Kalau perlu kita tiru habis sistem kelistrikan Filipina dimana listrik dikelola Swasta dan rakyat sangat dimanjakan dengan sistem kelistrikan yang ideal yang berdampak terhadap ekonomi yang dapat tumbuh stabil.
Solusi lainnya adalah Indonesia segera melakukan Industry area replacement dari pulau ke Jawa ke Kalimantan atau ke Indonesia bagian timur agar industri tidak terkonsentrasi di pulau Jawa dan lebih tepat industri mendekat dengan sumber energi. Jika pendekatan ini kita lakukan maka pemerataan ekonomi akan menyebar ke seluruh nusantara dan outcome listrik akan lebih murah.
Dan sebaiknya Menteri BUMN direkrut bukan dari golongan politik tetapi lebih tepat dari kalangan profesional guna mencegah dan menyelamatkan BUMN dari kepentingan oligarki dan kekuasaan. (llk)
"Kita akan memanggil Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan menggelar RDP (rapat dengar pendapat)," kata politisi Partai Demokrat ini saat berada di Palangka Raya, Rabu (3/5/2017).
Ikhwan menilai, keputusan untuk menaikkan TDL terlalu cepat. Pasalnya, kenaikan sebelumnya juga tidak didasari peningkatan pelayanan yang mumpuni.
"Salah satu contoh adalah Kalteng. Di beberapa wilayah sehari bisa padam tiga sampai empat kali. Bahkan ada beberapa desa yang berlum terkover listrik," tegas Ikhwan sebelum bertolak ke Jakarta.
Terhitung mulai 1 Mei 2017, tarif dasar listrik golongan 900 VA kembali naik Rp329 per kWH. Kini, 19 juta pelanggan pengguna golongan 900 VA harus membayar Rp1.352 per kWH untuk penggunaan listrik.
Sementara itu, masyarakat yang menggunakan listrik 900 VA non subsisdi, tarifnya akan disesuaikan dengan harga keekonomian. Saat ini, TLD 900 VA nonsubsidi Rp1.467,28 per kWH. Tarif ini akan kembali naik pada bulan Juli 2017 dan disesuaikan dengan tarif golongan Ihwan juga memberikan Press Relles kepada awak media,
"Sudah jatuh tertimpa tangga pula" sebuah ibarat keadaan yang sedang dialami Rakyat di Republik ini. Bagaimana mungkin disaat harga energi dunia sedang mengalami penurunan tetapi justru aneh Pemerintah menaikkan TDL di Indonesia.
Kebijakan yang tidak populis ini menurut PLN akibat PLN mengalami kerugian pada 2015 dan 2016 akibat adanya efisiensi dan substitusi dari BBM ke Batubara, gas dan energi primer lainnya. Selain itu keadaan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika juga penyebab melambungnya biaya operasional sekalipun harga energi fosil dunia mengalami penurunan signifikan. Ibarat 2 sisi mata uang, satu sisinya harga energi fosil turun, tetapi satu sisinya lagi nilai tukar rupiah juga anjlok.
Akibat kenaikan TDL ini rakyat menjerit, industri merintih, perusahaan kecil menengah sekarat karena tak mampu menahan beban kenaikan harga listrik. Sayangnya pemerintahan Jokowi tidak cerdas menyikapi keadaan ini dan seakan terburu-buru melakukan kenaikan TDL. Padahal keadaan yang sama saat ini juga dialami negara tetangga di Asean sebutlah Vietnam, Thailand dan Filipina, dalam keadaan minyak dunia turun dan kurs mereka juga sama terhadap dollar Amerika tetapi PLN di ketiga negara tersebut mengalami keuntungan yang signifikan. Berarti ada yang salah dengan PLN ini.
Seharusnya sektor listrik jangan dijadikan target fiskal akibat Tak Amnesty gagal meraup pundi-pundi karena kesalahan forcasting dan target terlalu muluk akhirnya darah rakyat yang dihisap dengan kenaikan TDL.
Seharusnya Jokowi memperbaiki kinerja PLN karena pada prakteknya ada indikasi banyaknya mafia pengadaan BBM serta ikut campurnya kekuasaan ke dalam ranah PLN dan ini sangat berbahaya bagi kelangsungan PLN itu sendiri. Ternyata neo liberalisme sudah masuk ke tatanan listrik nasional dan celakanya lagi PLN tidak mampu berbuat apa-apa. Akibatnya potret 2015 dan 2016 PLN merugi sampai +/- 36 triliun adalah bukti lemahnya manajemen BUMN ini. Keadaan ini berbanding terbalik dengan keadaan di negara2 di seluruh dunia, entitas bisnis energi listrik justru paling banyak meraup keuntungan dan ini yang harus menjadi benchmarking Indonesia.
Hasil audit BPK terhadap PLN terdapat 34 proyek listrik skala kecil yang nangkrak padahal dengan targetnya hanya 627 MW dan ini sangat kecil. Tetapi apapun alasannya ini adalah potret lemahnya manajemen pengawasan terhadap PLN dan anehnya proyek outstanding ini cenderung dibesar-besarkan oleh penguasa sekarang padahal yang lebih penting harus fokus implementasi proyek 35.000 MW dan bagaimana membenahi PLN agar mampu menjadi operator mega proyek ini.
Jujur saya katakan proyek 35.000 MW Indonesia apakah sekedar meniru Vietnam yang 6 tahun lebih dulu declare dengan angka 35.000 MW. Ibarat bumi dan langit di Vietnam sangat berbeda dengan Indonesia karena disana investor diberi red carpet sejak tiba di bandara serta diberi berbagai kemudahan berinvestasi di bidang kelistrikan. Indonesia berada di level 6 Elektrifikasi di Asean dan berada dibawah Vietnam. Investasi kelistrikan di Vietnam sangat berbeda. Di Indonesia investasi kelistrikan melalui IPP selalu terjebak dengan sistem birokrasi yang berbelit dan belum padunya sistem transmisi yang seharusnya terlebih dahulu dipersiapkan PLN.
Kesalahan terbesar bangsa kita terletak pada kesalahan awal yang menjadikan Indonesia dengan Java Centris sehingga elektrifikasi pun terkonsentrasi di pulau Jawa. Celakanya lagi pulau ini tidak memiliki raw material yang dibutuhkan untuk energi ini. Energi panas bumi yang seharusnya menjadi andalan baru tergarap 9%, sehingga energi fosil masih mendominasi pemenuhan pasokan untuk listrik.
Public Private Partnership seharusnya dapat berjalan mulus karena PLN terbantu pengadaan Excess Power elektrifikasi tetapi dalam prakteknya banyak kepentingan bermain sehingga raw model ini hanya bancakan para pebisnis yang dekat dengan kekuasaan semata. Disinilah oligarki bermain dengan DNA neo liberalisme hadir disisi penguasa akibatnya negara mengalami kerugian luar biasa dan kerugian itu dibebankan ke rakyat dengan seenak udelnya saja menaikkan TDL.
Jalan keluar yang harus dilakukan pemerintah adalah membersihkan PLN dari campur tangan oligarki dan Presiden berhak minta kepada KPK agar masuk dalam pencegahan. Kebijakan yang dikeluarkan dari turunan Undang-undang berbentuk PP atau Permen harus disiasati untuk menutup celah-celah dari masuknya tikus-tikus yang menggerogoti PLN. Itupun jika Jokowi berani dengan niat untuk bersih2 dan resiko bisa jadi kebijakan pencegahan ini justru berujung bumerang dari kawan politiknya.. Wallahualam.
Lakukan pembenahan manajemen dan sistem kelistrikan nasional secara komprehensif. Kalau perlu kita tiru habis sistem kelistrikan Filipina dimana listrik dikelola Swasta dan rakyat sangat dimanjakan dengan sistem kelistrikan yang ideal yang berdampak terhadap ekonomi yang dapat tumbuh stabil.
Solusi lainnya adalah Indonesia segera melakukan Industry area replacement dari pulau ke Jawa ke Kalimantan atau ke Indonesia bagian timur agar industri tidak terkonsentrasi di pulau Jawa dan lebih tepat industri mendekat dengan sumber energi. Jika pendekatan ini kita lakukan maka pemerataan ekonomi akan menyebar ke seluruh nusantara dan outcome listrik akan lebih murah.
Dan sebaiknya Menteri BUMN direkrut bukan dari golongan politik tetapi lebih tepat dari kalangan profesional guna mencegah dan menyelamatkan BUMN dari kepentingan oligarki dan kekuasaan. (llk)
COMMENTS