Menggiring Mahasiswi Untuk Mengenakan Rok, Merupakan Sebuah Tindakan Represif

Senin, 4 Maret 2019. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah digegerkan dengan Peraturan bahwa Mahasiswi haru...

Moral Bejad Sang Direktur

'Wakil Tuhan' Terjaring OTT Hanya karena Rp 30 Juta

150 Takmir Masjid Siap Hadir Di Acara Formasi

Senin, 4 Maret 2019.
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah digegerkan dengan Peraturan bahwa Mahasiswi harus memakai Rok.

Banyak Mahasiswi yang resah atas peraturan ini, Mahasiswi lari dikejar-kejar, sampai ada Mahasiswi yang harus dupulangkan karena tidak mengenakan Rok.

Hal ini merupakan sebuah tindakan Represif, karna bertentangan dengan nilai-nilai Universal Islam, Ciri Kemanusiaan, Hukum sosial Serta Akal Sehat.

Segala bentuk pemikiran serta upaya yang bertujuan untuk menggiring masyarakat ke dalam suatu bentuk penyeragaman yang bersifat Monolitik sudah pasti merupakan satu tindakan yang tidak saja bertentangan dengan ciri kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan Hukum Sosial dan Akal Sehat. (Nurcholis Madjid, "Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara Menuju Indonesia Baru").

Menggiring Mahasiswi Untuk Mengenakan Rok merupakan sesuatu bentuk yang sangat Kontradiksi dengan Realita bahwa Indonesia ini merupakan suatu bangunan yang dibangun atas dasar keberagaman budaya.

Deni Perdana Aji, selaku ketua HMJ Manajemen 2018, mengatakan bahwa secara tidak langsung tindakan Represif tersebut juga telah menciderai budaya serta keberagaman khususnya dalam hal berbusana. Serta terdapat diskriminasi terhadap Mahasiswi khususnya Mahasiswi FEB yang belum bisa mengenakan Rok. Ujar Deni, (Selasa, 5 maret 2019).

Memakai Rok itu Bagus, tapi bukan berarti melarang atau bahkan menyalahkan orang-orang yang belum bisa memakai Rok.

Karena Agama Islam tidak melulu di identikan dengan memakai Rok, Cadar, Jiput dan lain sebagainya.

Agama dan Kebudayaan tidak terpisah, namun berbeda. Agama bersifat sejagad (universal) dan mutlak, kebudayaan bersifat partikular dan nisbi. Landasan agama ialah wahyu ilahi, landasan kebudayaan ialah pemikiran manusia. (Abdul Hadi W.M, " Islam Indonesia dan Transformasi Budaya").

Kita harus bisa membedakan mana ajaran dasar dan mana ajaran yang bukan dasar. Mana yang merupakan islam normatif dan mana yang merupakan islam historis (budaya).

Seperti pemakaian Rok. Rok dapat dijadikan contoh diamana aspek normatif Islam yang dipengaruhi Budaya. Pemakaian Rok merupakan sebuah ketidak universalan, namun dapat menunjukan identitas keislaman. Dan Rok juga tidak hanya mengandung nilai-nilai dasar seperti kewajiban Menurup Aurat. Tetapi Rok juga mengandung nilai Kreasi yang memiliki Daya Guna. Bukan hanya Rok Masih banyak nilai universal Islam dalam hal Menutup Aurat dengan cara yang berbeda seperti: Celana, Gamis, Sarung dan lain sebagainya.

Lewat contoh diatas jelas terdapat pesan bahwa ajaran dasar (Islam Normatif) terletak di dalam hal (Menutup Aurat), sedangkan ajaran bukan dasar (Islam budaya) terletak pada Rok.

Islam historis itu selalu berkaitan erat dengan budaya masyarakat tertentu, jadi tidak ada sebuah penafsiran tunggal bahwa satu-satunya media menutup aurat adalah lewat Rok. Selain Rok kita bisa menggunakan media yang lain selagi pesan Islam normatif terpenuhi.

Sedikit mengutip gagasan Cak Nur dalam bukunya yang berjudul (Islam, kemoderenan, dan keindonesiaan) mengatakan bahwa: "Skularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan Skulariame, sebab (scularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion). Dalam hal ini, yang dimaksud ialah setiap bentuk (liberating development). Proses pembebasan ini diperlukan karena umat islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islam itu, mana yang trasendental dan mana yang tenporal. Malahan, hirarki nilai itu sendiri sering terbalik, trasendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, namun memungkirinya, sikap itu tercermin dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari. Akibat hal itu, sudah maklum cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tadisionalis".

Penulis: Umamil Murtado (Ammad) Mahasiswa jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.