Jakarta. RN Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal II-2019 sebesar US$ 391,8 miliar atau Rp 5...
Jakarta. RN
Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal
II-2019
sebesar US$
391,8 miliar atau Rp 5.681 triliun (Asumsi Kurs US$ 1 = Rp 14.500). Jumlah
tersebut naik
10,1%
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year-on-year (YoY).
ULN terdiri
dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 195,5 miliar, serta utang
swasta
(termasuk
BUMN) sebesar US$ 196,3 miliar. ULN Indonesia tumbuh 10,1% YoY, lebih tinggi
dibandingkan
dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 8,1% YoY, demikian
keterangan
resmi BI.
Menurut bank
sentral, kenaikan ULN dipengaruhi oleh penarikan neto dan penguatan nilai tukar
rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sehingga utang dalam rupiah tercatat lebih
tinggi dalam
denominasi
dolar AS. Peningkatan pertumbuhan ULN terutama didorong oleh ULN pemerintah, di
tengah
perlambatan
ULN swasta.
ULN
pemerintah, lanjut BI, tumbuh 9,1% YoY, lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pada
kuartal I-
2019 yaitu
3,6% YoY. Penyebabnya adalah kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard
& Poor's
pada akhir
Mei 2019, yang mendorong pembelian neto Surat Berharga Negara (SBN) domestik
dan
global oleh
investor asing.
Pengelolaan
ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi
terbesar
pada
beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (18,9% dari total
ULN
pemerintah),
sektor konstruksi (16,4%), sektor jasa pendidikan (15,9%), sektor administrasi
pemerintah,
pertahanan,
dan jaminan sosial wajib (15,2%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi
(14,0%)," papar
laporan BI.
Sementara
ULN sektor swasta justru tumbuh melambat. Pada kuartal II-2019, ULN swasta
tumbuh
11,4% YoY
sementara kuartal sebelumnya naik 13,3% YoY.
Perlambatan
ULN swasta, demikian BI, terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran
pinjaman
oleh korporasi. Secara sektoral, ULN swasta didominasi oleh sektor jasa
keuangan dan asuransi,
sektor
industri pengolahan, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara
(LGA), serta sektor
pertambangan
dan penggalian. Pangsa ULN di keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta
mencapai
76,9%.
Struktur ULN
Indonesia tetap sehat. Kondisi tersebut tercermin antara lain dari rasio ULN
Indonesia
terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) pada akhir kuartal II-2019 sebesar 36,8%, membaik
dibandingkan
dengan rasio pada kuartal sebelumnya. Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap
didominasi
oleh ULN
berjangka panjang dengan pangsa 87% dari total ULN.
Pertumbuhan
ULN yang meningkat tersebut bersumber dari ULN pemerintah dan swasta. ULN
Pemerintah
di bulan Juli 2019 tumbuh 9,7% (yoy) menjadi sebesar US$ 194,5 miliar, lebih
tinggi dari
pertumbuhan
bulan sebelumnya 9,1% (yoy).
Peningkatan
tersebut didorong oleh arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara
(SBN)
domestik
yang tetap tinggi di tengah dinamika global yang kurang kondusif.
Hal ini
mencerminkan kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik, didukung oleh
imbal
hasil
investasi portofolio di aset keuangan domestik yang menarik.
Pengelolaan
ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi
terbesar
pada beberapa sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (19,0% dari total
ULN
Pemerintah),
sektor konstruksi (16,4%), sektor jasa pendidikan (16,0%), sektor administrasi
pemerintah,
pertahanan,
dan jaminan sosial wajib (15,2%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi
(13,9%).
Ekonom
menilai bahwa dengan ekonomi Indonesia yang tumbuh 5% maka nilai ULN ini masih
sangat
wajar, hanya saya penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas
portofolio investasi.
Selain itu
aturan konservatif terkait utang yang tidak boleh lebih dari 3% PDB dirasa
mampu dijaga,
selain itu
berbagai regulasi perpajakan dapat mendorong foreign direct investment.
Rincian
hutang LN itu adalah untuk pembiayaan perekonomian dari kredit bank umum
tercatat Rp
5.228
triliun, dari total Rp 9.093 triliun pembiayaan ekonomi secara keseluruhan.
Posisi kedua
terbesar yang menjadi sumber pembiayaan perekonomian dalam negeri adalah utang
luar negeri
(ULN). BI mencatat, pembiayaan perekonomian melalui ULN mencapai Rp 2.133
triliun.
Ini
mmembuktikan Indonesia masih membutuhkan ULN untuk menjaga perekonomian saat
ini. Jadi
bisa tidak
negara ini hidup tanpa ULN? Memang negara ini membutuhkan ULN, tapi harus
dikelola
dengan
hati-hati. ULN pemerintah umumnya digunakan membiayai pengeluaran pemerintah
dan menjaga
konsumsi
rumah tangga untuk mendorong perekonomian. Pemerintah tentu saja harus dapat
memantau
dan
mengendalikan ULN agar stabilitas perekonomian tetap terjaga.
Merinci
lebih lanjut, dari data BI ditunjukkan, sumber pembiayaan melalui ULN sendiri
tercatat
meningkat
10,5% sebesar Rp 1.930 triliun. Namun pertumbuhannya melambat, dari 14,5%
menjadi
10,5% secara
year on year.
Sumber
pembiayaan perekonomian selanjutnya adalah pasar modal yang menyumbang Rp 922
triliun,
disusul industri keuangan non bank (IKNB) yang menyumbangkan Rp 698 triliun.
Kemudian
secara
berturut-turut disusul kredit BPR yang menyumbangkan Rp 105 triliun, dan
fintech Rp 8,3 triliun.
Utang luar
negeri pemerintah sebagian besar didapat dari instrumen Surat Berharga Negara
(SBN),
yaitu US$
195 milyar atau 70,8%. Adapun 29,2% lainnya yang sebesar US$ 54,4 miliar
didapat dalam
bentuk
pinjaman.
Sebagai
informasi, SBN merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah yang dapat
diperdagangkan
secara bebas di pasar keuangan. Pembentukan bunga utang pada instrumen ini
mengikuti
mekanisme
pasar.
Sementara
utang dalam bentuk pinjaman didapat dari lembaga/negara yang bertindak sebagai
kreditur.
Hingga saat
ini Jepang masih menjadi negara yang memberikan pinjaman terbesar bagi
pemerintah
RI, yaitu
mencapai US$ 12,7 miliar. Jerman dan Perancis mengekor dengan total pinjaman
masing-
masing
sebesar US$ 2,8 miliar dan US$ 2,6 miliar. China ada di posisi keempat dengan
total pinjaman
sebesar US$
1,6 miliar pada pemerintah.
Sementara
lembaga yang tercatat memberi pinjaman terbesar adalah International Bank for
Reconstruction
and Development (IBRD) yakni sebesar US$ 16,8 miliar. Diketahui IBRD merupakan
bagian dari
grup World Bank (WB).
Ada pula
Asian Development Bank (ADB) dan International Development Association (IDA)
yang
memberikan
pinjaman masing-masing sebesar US$ 9,9 miliar dan US$ 1 miliar kepada
pemerintah.
Menurut BI,
pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan
porsi terbesar
pada beberapa sektor produktif yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan
masyarakat.
Utang-utang
tersebut utamanya diperuntukkan untuk sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan
Sosial,
yaitu
sebesar US$ 35 miliar atau 18,8%. Sektor konstruksi juga mendapat porsi yang
cukup besar, yaitu
US$ 30,4
miliar atau 16,3%.
Sementara
sektor porsi sektor industri pengolahan tercatat amat minim, yaitu hanya US$
371 juta
atau 0,2%.
Analis
menilai kondisi ULN Indonesia saat ini pertumbuhan utang 8,7% lebih cepat
dibanding
pertumbuhan
PDB yang sebesar 8% sehingga memberi sinyal bahwa pertumbuhan hutang harus di
rem.
Selain itu
dilihat dari angka absolute nya ULN masih sehat dan aman yaitu sebesar 36-37%
yang
masih jauh
di bawah ketentuan maksimal sekitar 60% dari PDB. Saat ini penting dalam
mengoptimalkan
peran ULN
dalam mendukung pembiayaan pembangunan dengan meminimalisir risiko negatif
terhadap stabilitas
ekonomi.
Utang Luar
Negeri tersebut tumbuh 10,3 persen secara tahunan. Pertumbuhan tersebut naik
dibandingkan
dengan bulan sebelumnya yang hanya 9,9 persen.
BI merinci,
utang tersebut berasal dari beberapa sumber. Pertama berasal dari utang
pemerintah dan
bank sentral
yang sebesar US$197,5 miliar. Kedua, utang swasta termasuk BUMN sebesar
US$197,8
miliar.
Penambahan utang tersebut dipengaruhi oleh transaksi penarikan neto utang luar
negeri dan
penguatan
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Biaya itu
tidak bisa semuanya dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
atau APBD,
sehingga pemerintah mencari jalan lain, yaitu menarik investasi dari luar
negeri
dengan
menerbitkan surat utang.
Penguatan
tersebut membuat utang dalam rupiah tercatat lebih tinggi dalam denominasi
dolar AS.
Pertumbuhan
ULN pemerintah meningkat juga sejalan dengan persepsi positif investor asing
terhadap kondisi
perekonomian Indonesia.
Peningkatan
tersebut didorong oleh arus masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara
(SBN)
domestik
yang tetap tinggi di tengah dinamika global yang kurang kondusif.
Meskipun
meningkat, utang luar negeri Indonesia masih aman. Utang juga terkendali dan
berstruktur
sehat.
Pengelolaan utang pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan
porsi
terbesar
pada beberapa sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Dalam lebih
tiga tahun memimpin, pemerintahan Jokowi menyebut telah membangun di
antaranya
2.623 km jalan aspal, sebagian besar di "Papua, perbatasan Kalimantan dan
Nusa
Tenggara
Timur"; lebih dari 560 km jalan tol; lebih 25.000 meter jembatan; sejumlah
bandar
udara;
proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Palembang, serta Mass Rapid
Transit
(MRT)
Jakarta.
Akan tetapi
dalam jangka panjang jumlah utang tersebut "pasti tidak aman" karena
bunga
dan
cicilannya dibayar dengan "gali lubang, tutup lubang". Utang baru
dianggap aman kalau
pelunasannya
"tidak mengganggu likuiditas".
Kondisi gali
lubang tutup lubang ini muncul akibat rasio penerimaan pajak, yang merupakan
salah satu
sumber dana untuk membayar ULN, "juga turun". Realisasi penerimaan
pajak
Indonesia
Penerimaan pajak tahun 2018 mencapai Rp 1.315,9 triliun, atau hanya 92%
realisasi
dari target
APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun.
Kondisi
tersebut akan dilihat pasar sebagai risiko fiskal, yang membuat pasar keuangan
Indonesia
jadi rapuh dan mudah sekali timbul kekhawatiran. Kalau dollar menguat, orang
akan
cepat
khawatir akan terjadi aliran dana keluar.
Meskipun
utang untuk pembangunan infrastruktur, tetapi "rasa percaya diri pasar,
masih relatif stagnan. Ini
terlihat
dari pertumbuhan investasi pada kuartal II 2019 melemah karena kontraksi
pertumbuhan
investasi
barang modal, selain bangunan dan mesin.
Penanaman
Modal Tetap Bruto (PMTB) yang merupakan indikator investasi tercatat hanya
tumbuh 5,01
persen atau lebih rendah dari pertumbuhan periode yang sama tahun lalu sebesar
5,85
persen.Investasi melambat karena pertumbuhan barang modal selain bangunan dan
mesin mengalami
kontraksi.
Dari sisi
pengeluaran, investasi merupakan kontributor kedua terbesar dalam
perekonomian,
di bawah konsumsi. Pada tiga bulan kedua tahun ini, investasi menopang 31,25
persen
terhadap perekonomian. Artinya, dari 5,05 persen angka pertumbuhan kuartal II
2019,
sebanyak
1,59 persen diantaranya berasal dari investasi. Meskipun bertumbuh, tetapi
hanya di sektor
jasa, bukan
ke sektor riil (pertanian, pertambangan, industri) yang lebih punya efek
berganda pada kesejahteraan masyarakat.
Meskipun
begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kondisi utang Indonesia
"masih aman",
karena jika
dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) masih berada di kisaran 34% dan
menambahkan
utang tidak
boleh melebihi 60% dari PDB negara.
Untuk mendongkrak
investasi, pemerintah perlu menjaga situasi politik dan keamanan.
Selain itu,
pemerintah juga perlu memberikan kepastian hukum dan melanjutkan
penyederhanaan
regulasi.
Seiring
berjalannya waktu sumber pembiayaan hutang luar negeri menjadi salah satu
solusi yang
tepat dan
juga berkelanjutan dalam membiayai kekurangan pendanaan pembangunan
infrastuktur serta
mempercepat
jalannya pembangunan di Indonesia. Pemanfaatan hutang luar negeri sebagai
sumber
pembiayaan
pembangunan merupakan salah satu hal yang tidak bisa di pisahkan dari
pembangunan yang
terjadi,
khususnya pada negara-negara yang berkembang seperti Indonesia.
Suatu
pembangunan Infrastruktur di suatu negara tidak lepas dengan adanya pembiayaan
pembangunan,
hal ini dikarenakan pembiayaan pembangunan berguna untuk memenuhi kebutuhan
suatu negara.
Semakin maju dan berkembangnya suatu negara maka kebutuhan akan pembangunan
semakin
besar, tidak
terlepas dari anggaran yang dibutuhkan untuk merealisasikan kebutuhan
pembangunan
tersebut
juga akan semakin besar. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang,
dimana tuntutan
pemerintah
atas perbaikan dan pengadaan sarana-prasarana akan selalu meningkat.
Ada berbagai
macam alternative dalam membiayai pembangunan infrastuktur,salah satunya yaitu
pembiayaan
melalui hutang luar negeri. Sering kita dengar mengenai hutang luar negeri ini,
bagi kita
hutang luar
negeri sudah biasa. Pemerintah sering melakukan hutang luar negeri. Dari berbagai
alternative
dalam
pembiayaan infrastuktur, nampaknya htuang luar negeri lah yang banyak di dengar
oleh
masyarakat
Indonesia.
Jumlah
nominal dari Utang Luar Negeri yang semakin tahun semakin bertambah dan
pemerintah
selalu
menggunakan hutang luar negeri, apakah dengan menggunakan sumber pembiayaan
luar negeri
dapat
menjadi solusi permasalahan pembangunan di Indonesia atau malah sebaliknya,
penggunaan
pembiayaan
Hutang Luar Negeri yang menjadi boomerang bagi Indonesia dan menmbulkan masalah
baru?
Sebenarnya
hutang luar negeri memberi dampak positif dan juga dampak negative bagi
perekonomian
Indonesia. Dampak positif dari adanya pembiayaan pembangunan melalui utang luar
negeri
antara lain, dalam jangka pendek dapat menutup defisit Anggara Pendapatan Belanja
Negara
(APBN)
sehingga dalam hal ini pemerintah dapat melaksanakan pembangunan infrastuktur
dengan
dukungan
dana yang relative besar, dapat disimpulkan bahwa hutang luar negeri dapat
membantu
mempercepat
pembangunan infrastuktur di Indonesia.
Di samping
itu, dampak negative yang timpul akibat utang luar negeri yaitu dalam jangka
Panjang,
utang luar
negeri yang terus menerus dilakukan akan tidak terkendali dapat menimbulkan
berbagai
persoalan
ekonomi Indonesia salah satunya dapat menyebabkan inflasi atau nilai tukar
rupiah jatuh dan
nantinya
pasti mengakibatkan ketergantungan akan hutang luar neheri. Hal ini akan
menjadi boomerang
bagi bangsa
Indonesia apabila menganggap utang luar negeri merupakan hal yang yang
diandalkan dalam
pembiayaan
pembangunan infastuktur. Banyak alternative lain yang memiliki keuntungan bagi
kelancaran
pembangunan infrastuktur di Indonesia.
Hutang luar
negeri seharusnya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas kapasitas
pertumbuhan
normal dan juga dapat mempercepat pembangunan infrastuktur di Idonesia. Dalam
melakukan
hutang luar negeri pemerintah harus memperhatkan strategi dan proporsinya.
Berbicara
mengenai
proporsi dari hutang luar negeri perlu dikaji kembali mengenai perbaikan
rencana anggaran
negara dalam
pembiayaan pembangunan negara, sehingga strategi dan sumber pembiayaan dapat
lebih
efektif dan
tidak hanya mengandalakan alternative utang luar negeri. Selain itu dalam
pengaplikasiannya
harus
dilakukan secara tepat agar tidak menjadi boomerang negara dalam utang
berkepanjangan yang
nantinya
akan membebani masyarakat.(***) Pemerhati masalah sosial dan ekonomi tinggal di
Purbalingga
-Jawa Tengah
COMMENTS